Perekonomian Pulau Batam, Pulau Karimun, dan Pualu
Bintan sebagai Kawasan Ekonomi Kusus (KEK) serta Kepulauan Riau sebagai wilayah
Indonesia yang letaknya berhadapan dengan Singapura dan Malaysia harus lebih
maju supaya dapat bersaing. Untuk menunjang pembangunan KEK dan Kepulauan Riau
didukung dari APBD, APBN, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Kekurangan pendanaan KEK ddan Kepulauan Riau dapat teratasi
apabila Ekspor Pasir Laut ke Singapura dibuka kembali. Ada tiga alasan
penghentian ekspor pasir laut, yakni belum terselesaikannya batas wilayah laut
antara Indonesia dan Singapura, tidak tercapainya harga patokan ekspor pasir
laut yang menyebabkan negara merugi dan terjadinya kerusakan lingkungan laut.
Pemerintah Indonesia harus mengkaji alasan pemberhentian ekspor pasir laut
didasarkan pada ketentuan-ketentuan UNCLOS dan hukum positif Indonesia.
Kondisi sebelum penghentian
sementara kondisi perbatasan wilayah laut
Ekspor
pasir laut ke Singapura mendorong Indonesia dan Singapura untuk segera
menyelesaikan batas wilayah di Selat Malaka dan Selat Singapura pada tahun 1973.
Hasil perundingan tersebut mempertegas country
of origin dari pasir laut. Perjanjian
terkait ekspor laut membuat pelaku bisnis memiliki landasan hukum. Luas daratan
yang bertambah sebagai hasil reklamasi pantai oleh Singapura mengunakan pasir
laut dari Indonesia kurun waktu 32 tahun dikhawatirkan akan mengubah kedudukan
garis pangkal dan memperluas wilayah laut Singapura. Sehingga kegiatan ekspor
pasir laut dari Indonesia dihentikan untuk sementara waktu sampai permasalahan
batas wilayah laut kedua negara terselesaikan.
Kondisi Lingkungan Laut
Penambangan
pasir laut dilakukan menggunakan dredger (kapal
keruk) yang tidak ramah lingkungan diduga sebagai penyebab kekeruhan air laut
yang membuat sumberdaya ikan menurun dan nelayan mengalami kerugian serta pulau
Nipah hilang. Apabila Pulau Nipah tenggelam maka keberadaan titik terluar garis
pangkal kepulauan akan hilang. Akibatnya perairan Singapura akan bertambah luas
seiring pertambahan luas daratannya.
Kondisi Bisnis Pasir Laut
Jurong Town Coorporation (Singapura) bertugas
melakukan reklamasi pantai Singapura menggunakan pasir dari Indonesia. Beberapa
kontraktor (Singapura) pemenang tender mengadakan kontrak pengadaan pasir laut
dalam jumlah, harga, dan waktu tertentu dengan nahkoda dredger yang memenuhi syarat dari kontraktor. Dredge (asing) berlayar ke perairan Kepulauan Riau dan nahkoda Dredger mengadakan perjanjian jual beli dengan para pemilik Kuasa
Pertambangan yang memiliki ijin ekspor pasir laut dan yang melakukan pembayaran
cash and carry on site. Nahkoda dredger menggunakan strategi leave it or take it dengan harga
serendah-rendahnya. Hal tersebut menimbulkan persaingan tidak sehat, perijinan
bisnis, penambangan pasir tidak terkendali dan harga patokan ekspor tidak terpenuhi.
Indonesia sebagai pihak yang dirugikan kemudian menghentikan sementara ekspor
pasir laut.
Landasan Hukum Penghentian
Sementara
Pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan Presiden
Nomor 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut serta
membentuk Tim Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (TP4L). Pemerintah
Indonesia tidak berhasil membuka kembali ekspor pasir laut kurun waktu 3 bulan
maka ditetapkanlah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian sementara ekspor pasir laut dari seluruh
wilayah Indonesia dan keputusan tersebut masih berlaku sampai sekarang.
Dampak
Penghentian Sementara
Semua kontrak mengenai ekspor pasir laut dari
Indonesia terhenti dan Singapura dirugikan. Pertama
JTC mengenakan denda kepada para kontraktor dan kontraktor mengenakan denda
terhadap para pengusaha dredger sesuai
ketentuan kontrak. Kedua, para
pemilik KP tidak mau membayar ganti rugi kepada dredger karena merasa tidak dirugikan dengan adanya penutupan
sementara ekspor pasir laut. Ijin KP secara sendirinya berakhir jika tidak ada dredger yang membeli pasir laut. Ketiga, Pemerintah Indonesia tidak dapat
dituntut atas kerugian yang dialami oleh pelaku bisnis ekspor pasir, karena
penutupan sementara untuk melindungi kepentingan Negara.
Penetapan Garis
Pangkal Menurut UNCLOS
Singapura melakukan perluasan daratan untuk
mendukung fungsinya sebagai negara pelabuhan dan pusat industri dunia.
Perubahan wilayah pantai tidak dijadikan dasar penentuan garis pangkal. Garis
pangkal adalah garis yang menghubungkan titik-titik alamiah dan bukan buatan
manusia serta tidak boleh menyimpang dari konfigurasi wilayah negara (pasal 5,
pasal 7, dan pasal 47 UNCLOS ). Ketentuan Pasal 7 UNCLOS memberi pengecualian
garis pangkal lurus dapat ditentukan dengan menghubungkan titik-titik dari fasilitas-fasilitas
buatan manusia yang secara internasional diakui sebagai bagian permanen dari
kegiatan kepelabuahan. Singapura sebagai negara pelabuhan menggunakan pasal 7
UNCLOS untuk menentukan gariss pangkalnya. Penentuan batas laut di bagian Barat
dan Timur Selat Singapura seharusnya menggunakan garis pangkal yang sebelumnya
telah digunakan untuk menentukan batas laut di bagian Tengah Selat Singapura.
Penyelesaian
Batas laut Teritorial
Penyelesaian batas laut di bagian Barat dan Timur
Selat Singapura tidak semudah menyelesaikan batas wilayah laut di bagian tengah
Selat Singapura memerlukan perundingan antara Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Karena ada satu titik diujung barat dan satu titik diujung timur
Selat Singapura yang merupakan three
junction point, yaitu titik yang menentukan penarikan batas wilayah antara
ketiga negara tersebut. Permasalaham semakin rumit karena kedua negara saling
mengkaitkan kepentingannya dalam penentuan batas wilayah. Perundingan
penyelesaian batas wilayah kemungkinan dapat terselenggara dan terselesaikan
apabila permasalahan tentang ekstradisi dan DAC sudah terselesaikan.
Peluang Pembukaan
Kembali Ekspor Pasir Laut
UNCLOS dan Hukum Positif Indonesia memberikan
peluang untuk dijadikan landasan hukum pembukaan kembali ekspor pasir laut dari
Kepulauan Riau ke Singapura. Indonesia akan memperoleh pendapatan yang besar
dengan adanya pembukaan ekspor pasir laut. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Singapura harus memperbaiki tata niaga melalui penerapan kebijakan one gate policy untuk menyelesaikan
permasalahan ijin, mengontrol interaksi supply dan Demand, serta memonitor lalu lintas ekspor dan pembayaran hasil
penjualan pasir.
Secara garis besar penghentian ekspor pasir laut
dari Kepulauan Riau dikarenakan adanya kekhawatiran Pemerintah Indonesia
terkait perubahan wilayah pesisir Singapura akibat hasil reklamasi pulau.
Penetapan perundanga-undangan yang mengatur tentang aktivitas ekspor pasir
pantai dan menjadi salah satu bukti kekhawatiran Indonesia. Padahal sudah jelas
tertera pada hukum internasional (pasal 5, pasal 7, dan pasal 47 UNCLOS) garis
pangkal adalah garis yang menghubungkan titik-titik alamiah dan bukan buatan
manusia serta tidak boleh menyimpang dari konfigurasi wilayah negara kecuali
ada kondisi-kondisi tertentu yang dimiliki negara yang bersangkutan dan diakui
secara internasional. Seharusnya yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia
adalah pengaturan kebijakan one gate policy
terkait ekspor pasir laut dari seluruh wilayah Indonesia yang meliputi
perijinan, control dan pengawasan terkait supply
dan demand serta sustainable environment, mekanisme lalu lintas ekspor pasir laut,
dan administrasi pembayaran hasil
penjualan pasir.