Minggu, 06 Desember 2015

Review paper "Peluang Menurut UNCLOS dan Hukum Positif Indonesia untuk Membuka Kembali Ekspor Pasir Laut Ke Singapura" (Purwaka, 2014)


Perekonomian Pulau Batam, Pulau Karimun, dan Pualu Bintan sebagai Kawasan Ekonomi Kusus (KEK) serta Kepulauan Riau sebagai wilayah Indonesia yang letaknya berhadapan dengan Singapura dan Malaysia harus lebih maju supaya dapat bersaing. Untuk menunjang pembangunan KEK dan Kepulauan Riau didukung dari APBD, APBN, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kekurangan pendanaan KEK ddan Kepulauan Riau dapat teratasi apabila Ekspor Pasir Laut ke Singapura dibuka kembali. Ada tiga alasan penghentian ekspor pasir laut, yakni belum terselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura, tidak tercapainya harga patokan ekspor pasir laut yang menyebabkan negara merugi dan terjadinya kerusakan lingkungan laut. Pemerintah Indonesia harus mengkaji alasan pemberhentian ekspor pasir laut didasarkan pada ketentuan-ketentuan UNCLOS dan hukum positif Indonesia.
Kondisi sebelum penghentian sementara kondisi perbatasan wilayah laut
Ekspor pasir laut ke Singapura mendorong Indonesia dan Singapura untuk segera menyelesaikan batas wilayah di Selat Malaka dan Selat Singapura pada tahun 1973. Hasil perundingan tersebut mempertegas country of origin dari  pasir laut. Perjanjian terkait ekspor laut membuat pelaku bisnis memiliki landasan hukum. Luas daratan yang bertambah sebagai hasil reklamasi pantai oleh Singapura mengunakan pasir laut dari Indonesia kurun waktu 32 tahun dikhawatirkan akan mengubah kedudukan garis pangkal dan memperluas wilayah laut Singapura. Sehingga kegiatan ekspor pasir laut dari Indonesia dihentikan untuk sementara waktu sampai permasalahan batas wilayah laut kedua negara terselesaikan.
Kondisi Lingkungan Laut
Penambangan pasir laut dilakukan menggunakan dredger (kapal keruk) yang tidak ramah lingkungan diduga sebagai penyebab kekeruhan air laut yang membuat sumberdaya ikan menurun dan nelayan mengalami kerugian serta pulau Nipah hilang. Apabila Pulau Nipah tenggelam maka keberadaan titik terluar garis pangkal kepulauan akan hilang. Akibatnya perairan Singapura akan bertambah luas seiring pertambahan luas daratannya.
Kondisi Bisnis Pasir Laut
Jurong Town Coorporation (Singapura) bertugas melakukan reklamasi pantai Singapura menggunakan pasir dari Indonesia. Beberapa kontraktor (Singapura) pemenang tender mengadakan kontrak pengadaan pasir laut dalam jumlah, harga, dan waktu tertentu dengan nahkoda dredger yang memenuhi syarat dari kontraktor. Dredge (asing) berlayar ke perairan Kepulauan Riau  dan nahkoda Dredger mengadakan perjanjian jual beli dengan para pemilik Kuasa Pertambangan yang memiliki ijin ekspor pasir laut dan yang melakukan pembayaran cash and carry on site. Nahkoda dredger menggunakan strategi leave it or take it dengan harga serendah-rendahnya. Hal tersebut menimbulkan persaingan tidak sehat, perijinan bisnis, penambangan pasir tidak terkendali dan harga patokan ekspor tidak terpenuhi. Indonesia sebagai pihak yang dirugikan kemudian menghentikan sementara ekspor pasir laut.
Landasan Hukum Penghentian Sementara
Pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan Presiden Nomor 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut serta membentuk Tim Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (TP4L). Pemerintah Indonesia tidak berhasil membuka kembali ekspor pasir laut kurun waktu 3 bulan maka ditetapkanlah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian sementara ekspor pasir laut dari seluruh wilayah Indonesia dan keputusan tersebut masih berlaku sampai sekarang.
Dampak Penghentian Sementara
Semua kontrak mengenai ekspor pasir laut dari Indonesia terhenti dan Singapura dirugikan. Pertama JTC mengenakan denda kepada para kontraktor dan kontraktor mengenakan denda terhadap para pengusaha dredger sesuai ketentuan kontrak. Kedua, para pemilik KP tidak mau membayar ganti rugi kepada dredger karena merasa tidak dirugikan dengan adanya penutupan sementara ekspor pasir laut. Ijin KP secara sendirinya berakhir jika tidak ada dredger yang membeli pasir laut. Ketiga, Pemerintah Indonesia tidak dapat dituntut atas kerugian yang dialami oleh pelaku bisnis ekspor pasir, karena penutupan sementara untuk melindungi kepentingan Negara.
Penetapan Garis Pangkal Menurut UNCLOS
Singapura melakukan perluasan daratan untuk mendukung fungsinya sebagai negara pelabuhan dan pusat industri dunia. Perubahan wilayah pantai tidak dijadikan dasar penentuan garis pangkal. Garis pangkal adalah garis yang menghubungkan titik-titik alamiah dan bukan buatan manusia serta tidak boleh menyimpang dari konfigurasi wilayah negara (pasal 5, pasal 7, dan pasal 47 UNCLOS ). Ketentuan Pasal 7 UNCLOS memberi pengecualian garis pangkal lurus dapat ditentukan dengan menghubungkan titik-titik dari fasilitas-fasilitas buatan manusia yang secara internasional diakui sebagai bagian permanen dari kegiatan kepelabuahan. Singapura sebagai negara pelabuhan menggunakan pasal 7 UNCLOS untuk menentukan gariss pangkalnya. Penentuan batas laut di bagian Barat dan Timur Selat Singapura seharusnya menggunakan garis pangkal yang sebelumnya telah digunakan untuk menentukan batas laut di bagian Tengah Selat Singapura.
Penyelesaian Batas laut Teritorial
Penyelesaian batas laut di bagian Barat dan Timur Selat Singapura tidak semudah menyelesaikan batas wilayah laut di bagian tengah Selat Singapura memerlukan perundingan antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Karena ada satu titik diujung barat dan satu titik diujung timur Selat Singapura yang merupakan three junction point, yaitu titik yang menentukan penarikan batas wilayah antara ketiga negara tersebut. Permasalaham semakin rumit karena kedua negara saling mengkaitkan kepentingannya dalam penentuan batas wilayah. Perundingan penyelesaian batas wilayah kemungkinan dapat terselenggara dan terselesaikan apabila permasalahan tentang ekstradisi dan DAC sudah terselesaikan.
Peluang Pembukaan Kembali Ekspor Pasir Laut
UNCLOS dan Hukum Positif Indonesia memberikan peluang untuk dijadikan landasan hukum pembukaan kembali ekspor pasir laut dari Kepulauan Riau ke Singapura. Indonesia akan memperoleh pendapatan yang besar dengan adanya pembukaan ekspor pasir laut. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura harus memperbaiki tata niaga melalui penerapan kebijakan one gate policy untuk menyelesaikan permasalahan  ijin, mengontrol interaksi supply dan Demand, serta memonitor lalu lintas ekspor dan pembayaran hasil penjualan pasir.

Secara garis besar penghentian ekspor pasir laut dari Kepulauan Riau dikarenakan adanya kekhawatiran Pemerintah Indonesia terkait perubahan wilayah pesisir Singapura akibat hasil reklamasi pulau. Penetapan perundanga-undangan yang mengatur tentang aktivitas ekspor pasir pantai dan menjadi salah satu bukti kekhawatiran Indonesia. Padahal sudah jelas tertera pada hukum internasional (pasal 5, pasal 7, dan pasal 47 UNCLOS) garis pangkal adalah garis yang menghubungkan titik-titik alamiah dan bukan buatan manusia serta tidak boleh menyimpang dari konfigurasi wilayah negara kecuali ada kondisi-kondisi tertentu yang dimiliki negara yang bersangkutan dan diakui secara internasional. Seharusnya yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia adalah pengaturan kebijakan one gate policy terkait ekspor pasir laut dari seluruh wilayah Indonesia yang meliputi perijinan, control dan pengawasan terkait supply dan demand serta sustainable environment, mekanisme lalu lintas ekspor pasir laut, dan  administrasi pembayaran hasil penjualan pasir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar