Indonesia salah
satu negara dengan produksi ikan tuna terbesar di dunia. Sehingga Indonesia
harus ikut berkomitmen untuk mendukung pengelolaan dan konservasi perikanan
tuna secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. untuk mewujudkan
komitmennya Indonesia bergabung dalam suatu organisasi yang memberikan
perhatian khusus terhadap spesies tuna yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Peran aktif Indonesia dalam
IOTC dibuktikan dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjadi tuan
rumah penyelenggaraan pertemuan tahunan IOTC ke-13 di Kuta, Bali pada tanggal
30 Maret 2009. Keikutsertaan Indonesia dalam komisis tersebut membuat kekayaan
tuna Indonesia telah diatur IOTC termasuk jenis tuna yang dimiliki oleh
Indonesia yakni sebanyak 16 jenis meliputi Yellow
Fin Tuna, Skipjack, Bigeye Tuna,Albacore Tuna,Southern Bluefine
Tuna, Long tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Bullet Tuna,Narrow Barred
Spanish Mackerel,Indo Pacific King Mackerel,Indo Pacific Blue Marlin,Black
Marlin,Strip Marlin,Indo Pacific Sailfish, dan Swordfish.
Indonesia
resmi menjadi negara full member IOTC ke-27 pada tanggal 20 Juni 2007. Masuknya
Indonesia menjadi full member IOTC merupakan implementasi dari UU No.31 Tahun
2004 Pasal 10 (2) yang berbunyi “Pemerintah ikut serta
secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan
internasional dalam rangka kerja sama pengelolaan perikanan regional dan
internasional”. IOTC merupakan salah satu Regional Fisheries Management Organization (RFMO),
yaitu organisasi pengelolaan perikanan regional dibawah FAO, yang diberi
kepercayaan melakukan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di wilayah Samudra
Indonesia.
Sebagai
sebagai salah satu anggota IOTC Indonesia telah melakukan kegiatan seperti program
revitalisasi perikanan tuna, penyampaian informasi kepada sekretariat IOTC
tentang Authorized Vessel dan Active Vesselatau kapal yang aktif dan resmi
melakukan penangkapan tuna, bersama Australia menyusun Regional Plan of Action
(RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices (including Combating IUU
Fishing) in the Region, yakni rencana aksi dua negara untuk mewujudkan
pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab termasuk pemberantasan illegal
fishing; dan penyusunan peraturan perundang-undangan perikanan.
Sebagai
langkah awal untuk melaksanakan kewajiban sebagai salah satu anggota forum
internasional dengan membuat undang-undang perikanan No. 31/2004 yang ditandatangai Presiden Megawati Soekarniputri
pada tanggal 6 Oktober 2006 dan selanjutnya diamandemen melalui Undang-Undang
Perikanan No. 45/2009. Undang-undang No. 31/2004 ini menekankan :
1.
Penyelenggaraan Peradilan Perikanan, untuk menangani
kasus-kasus kriminal terkait perikanan.
2.
Penugasan investor Perikanan dari layanan sipil,
tentara Angkatan Laut Indonesia, dan petugas polisi Indonesia.
3.
Pengakuan tanggung jawab Indonesia di bawah badan
hukum internasional untuk bekerjasama dalam mengelola ketersediaan sumber daya
perikanan dengan cara bergabung di dalam RFMO terkait.
4.
Peningkatan pemberian lisensi yang mewajibkan
kapal-kapal Indonesia untuk memiliki ijin penangkapan ikan di perairan
Indonesia.
5.
Pembuatan mekanisme untuk menerapkansanksi bagi
pemilik/operator kapal ikan yang terbukti telah melanggar hukm dan peraturan
penangkapan.
Prinsip-prinsip
yang ada pada undang-undang tersebut menciptakan dasar yang kuat bagi kekuatan
penangkapan tuna dilaut internasional oleh Indoneasia. Dan pada tahun 2009
Indonesia menerapkan Peraturan Menteri No PER.03/MEN/2009 tentang
Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas, persiapan penerapan Log Book perikanan,
program outer fishing portatau pelabuhan perikanan terluar. Sehingga
kapal-kapal indonesia yang melakukan penangkapan ikan harus mempunyai logbook,
memasang VMS, dan bersedia menerima apengawasan di kapal (on-boar observers). Meskipun pelaksanaannya belum menyeluruh, ini
merupakan upaya bangsa Indonesia untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
ketersediaan sumberdaya perikanan internasional.
Sumber :