Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan Mangrove terbesar
di dunia yaitu seluas 3,1 juta hektar atau sebesar 20 persen dari luas Mangrove
global. Namun angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun 1980 yang
luasnya mencapai 4,2 juat hektar. Penurunan ini terjadi karena terjadi tumpang
tindih kewenangan antara Kementerian Kehutanan dan kementrian Kelautan dan
Perikanan. Hal ini terjadi karena menurut UU kehutanan, kehutanan merupakan
ekosistem yang didominasi oleh pepohonan. Sedangkan menurut UU Pengelolaan
Wilayah Pesisir, Mangrove termasuk wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Berkurangnya luas hutan Mangrove di Indonesia sangat
memprihatinkan sebab berperan penting bagi ekonomi dan ekologi. Mangrove
berfungsi sebagai pemijah (Spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) bagi ikan, udang, kerang-kerangan,
kepiting, dan spesies ekonomis penting lainnya. Selain itu Mangrove juga
berfungsi sebagai pelindung alami pesisir masyarakat pesisir pantai dan
mitigasi bencana perubahan iklim.
Kehilangan hutan Mangrove membuat emisi karbon yang dihasilkan
dari sektor perindustrian, peternakan, maupun sektor lainnya akan meningkatkan
secara signifikan. Emisi karbon yang meningkat secara signifikan menyebabkan
semakin tingginya suhu bumi yang berdampak pada perubahan iklim. Perubahan
iklim akan membuat kualitas ekosistem daratan buruk. Kualitas daratan yang
buruk akan mempengaruhi kualitas ekosistem laut. Pada permasalahan ini Mangruve
berada pada posisi sentral yang menghubungkan kedua ekosistem tersebut. Oleh
karena itu perlu adanya upaya konservasi ekosistem Mangrove.
Konservasi diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi
emisi karbon sebab Mangrove berperan penting dalam penyerapan emisi karbon.
Penyerapan karbon bukan pada pohonnya (above-ground) melainkan pada sedimennya (below-ground). Sedimen
Mangrove mampu menyimpan karbon mencapai 80 persen. Simpanan karbon pada
Mangrove ini lebih besar dibandingkan dengan hutan hujan tropis per satuan
luasan. Upaya konservasi ini akan memberikan keuntungan ekologis dan ekonomis
bagi Indonesia. Keuntungan ekonomisnya melalui mekanisme global mitigasi
perubahan iklim yang dikenal dengan pasar karbon. Secara umum pasar karbon
dikenal 2 jenis yakni pasar karbon wajib (compliance market) dan pasra karbon sukarela (voluntary
carbon market). Protokol Kyoto
memungkinkan terjadinya kerjasama antar negara maju dan berkembang dalam
mengurangi gas rumah kaca. Hal ini memungkinkan melakukan kerja sama dengan
negara maju melalui mekanisme Clean
Development Mechanism (CDM).
Secara ekologis pengelolaan hutan mangrove akan mempererat hubungan antara
Indonesia dengan negara-negara lain di dunia karena beberapa hutan bakau di
Indonesia merupakan tempat persinggahan burung-burung yang terbang bermigrasi
dai berbagai negara.
Ekosistem mangrove yang pada awalnya dipandang sebelah mata oleh
sebagian pihak sebenarnya memberikan manfaat tang luar biasa bagi bangsa
Indonesia terutama dalam bidang ekonomi dan ekologi. Oleh karena itu kita
sebagai generasi penerus harus sadar bahwa ekosistem laut juga perlu
dilestarikan dan dijaga sebab jika kita hanya mengandalkan sumber daya yang
dihasilkan dari darat saja maka tidak akan terjadi keseimbangan antara
ekosistem laut dan ekosistem darat.
Smber
:
Saputra,
Adi.2013. Mengenal Hutan Bakau.
Akses tanggal 20 Maret 2015 pukul 17.45 http://www.satwa.net/213/mengenal-hutan-bakau.html
Megawanto,
Rony.2014. Blue Carbon, SBY dan Komitmen Jokowi. Tanggal akses 20
Maret 2015 Pukul 19.07 http://www.mongabay.co.id/tag/blue-carbon/
http://www.pemanasanglobal.net/faq/apa-penyebab-utama-pemanasan-global.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar